
Surabaya (Jawa Timur-Indonesia) merupakan salah satu kota dengan status zona merah dan sempat memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama beberapa waktu. Seketika itu perekonomian masyarakat Surabaya khususnya para pekerja di sektor informal mengalami penurunan secara drastis. Seperti yang dialami oleh keluarga Suhartono (46) warga rusun Penjaringan Sari, Surabaya. Bapak empat anak ini harus berpikir keras dan menjadi pekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya di tengah pandemi.
Sebelumnya Suhartono dibantu istrinya Netty (40) mengais barang-barang rongsokan di depo sampah Kangean, Surabaya. Satu per satu Ia dan istrinya memilah sampah yang bisa dijual kembali seperti kaleng, plastik, botol, kardus, dll, untuk disetorkan kembali kepada para pengepul sampah.
Sejak virus Covid-19 mengancam warga kota Surabaya dan diberlakukannya PSBB, kini pria yang akrab dipanggil Tono itu tidak bisa sepenuhnya bergantung pada rongsokan saja. Pasalnya semenjak pandemi, harga rongsokan menurun drastis. Pihak pengepul sengaja membatasi stok sampah dan menurunkan harga beli karena bisnisnya juga terdampak. "Sebelum pandemi, dalam satu minggu saya bisa setor 2 kali. sekarang setor 1 kali." jelas Tono. Begitu juga seperti yang sampaikan Netty "Sebelum ada Corona dapetnya Rp200.000 tiap kali setor, sekarang ini gak tentu kadang Rp. 100.000 kadang Rp. 120.000." Dalam situasi pandemi seperti saat ini, memaksa masyarakat untuk mencari alternatif lain. Agar mendapatkan pemasukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pasalnya banyak daftar nama karyawan yang harus dirumahkan dan tidak sedikit pula usaha kelas menengah yang harus gulung tikar.

Kondisi ini yang membuat Yuda (37) dirumahkan untuk sementara waktu hingga keadaan kembali kondusif. Yuda adalah pekerja di salah satu Bank Sampah Induk Surabaya (BSIS). Pria dua anak ini terpaksa dirumahkan untuk sementara waktu karena tempat dimana dia bekerja mengalami penurunan omset secara drastis. Hal ini disebabkan karena banyak pabrik yang menutup distribusi sampah kering dari bank sampah tersebut. Selama masa pandemi Yuda tidak sekedar berdiam diri. Dia dan istrinya mencoba memasarkan produk kemasan makanan beku dan masakan siap saji secara online. Karena dirasa kebutuhannya cukup banyak tahun ini dengan dua anak yang masih kecil-kecil. "Laiya kok pas kebutuhan sedang banyak-banyaknya ada pandemi. Apalagi anak-anak saya yang satu mau masuk sekolah TK yang satu masih balita." keluh Yuda.
Lain cerita dengan Lamidi (66), seorang pekerja informal sebagai petugas pengangkut sampah rumah tangga di Jl. Krembangan Bhakti, Surabaya. Besar penghasilannya bergantung pada jumlah sampah kampung yang ia tangani. Semakin banyak kampung semakin banyak pula pundi-pundi yang ia kantongi setiap bulannya. Kini di usia lanjutnya, Lamidi hanya mampu menangani 10 kampung dengan upah Rp. 1.500.000 per bulan. Namun, di usianya yang rentan pula, membuat Lamidi terpaksa tidak bisa bekerja dengan penuh. Saat pemberlakuan PSBB di Surabaya, Ia bersama teman sebaya dan senasibnya harus rela untuk sementara berdiam diri di rumah. "Mau gak mau saya dan teman-teman harus mengikuti anjuran dan aturan yang berlaku. Apalagi saya tergolong usia rentan sama virus apa itu namanya? (baca; Corona/red)" Ungkap Lamidi dengan sedikit lupa. Selama PSBB Lamidi hampir tidak ada pemasukan sama sekali. Ia bertahan dengan sisa tabungan yang ada dan juga bantuan bahan pangan dari para dermawan. "Untungnya masih ada orang-orang baik yang mau berbagi rezekinya. Jadi saya dan keluarga masih bisa bertahan." sambut Lamidi. "Semoga setelah berakhirnya PSBB semua bisa berangsur pulih dan virusnya pergi." sambungnya.

Pandemi ini tentu tak hanya berdampak pada para pekerja sampah informal, pandemi ini juga membuat pekerja sampah formal pun menjadi was-was. Joko Susilo (35) , adalah salah satu petugas kebersihan DKP kota Surabaya yang masih bertugas di tengah pandemi Covid-19. Baginya, kebersihan kota tidak bisa diabaikan meskipun bahaya di lapangan terhadap penularan virus Covid-19 masih mengancam. "Menurut saya, kebersihan lingkungan harus terus dijaga. Kalau petugas kebersihan seperti saya ikut "stay at home" penyebaran penyakit semakin luas. Mungkin tidak hanya Covid, tapi penyakit-penyakit yang lain juga bakal menyebar." Ujar pria yang juga sebagai koordinator depo sampah di kawasan Kangean, Surabaya.
Menyadari hal ini, wajib bagi Joko dan kawan-kawan seprofesi untuk tetap safety. Artinya mereka juga harus mampu menjaga diri masing-masing. Salah satunya dengan mengikuti protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Namun, hingga kini mereka masih tetap bekerja dengan perlengkapan pelindung diri seadanya. Disisi lain, sebagai "pasukan kuning", Joko juga berharap agar kondisi seperti ini segera berlalu. Meskipun secara ekonomi tidak berdampak langsung terhadapnya. Namun besar harapan bisa pulih kembali agar kinerjanya semakin mudah. "Harapannya pulih kembali, biar enak kerja saya dan teman-teman. Kalau tidak ada yang mengancam hati ini ikut tenang." tegasnya. "Selain itu keliling ke kampung-kampung buat memungut sampah rumah tangga kan jadi lebih mudah." tutup Joko.
Ya, selain dampak ekonomi, pandemi ini juga menghantui para pekerja sampah baik informal maupun formal dari segi kerentanan tertular virus. Bagaimana tidak, pekerja sampah merupakan profesi yang bersentuhan langsung dengan limbah rumah tangga yang membuat mereka memiliki resiko yang tinggi untuk terpapar virus Covid-19 dan penyakit lainnya. Berbagai kendala untuk meningkatkan keamanan para pekerja sampah menjadi hal yang harus ditindaklanjuti, baik dari segi keterbatasan alat pelindung diri, perlengkapan kebersihan (hygiene), maupun edukasi atau peningkatan kesadaran para pekerja untuk benar-benar menerapkan protokol kesehatan dalam menjalankan pekerjaan mereka sehari-hari baik pada saat pandemi maupun pada situasi normal.